PENOLAKAN PORNOGRAFI PERLU TEKANAN KUAT MASYARAKAT
Upaya penolakan terhadap keberadaan pornografi dinilai akan kurang efektif jika tidak diiringi oleh ketegasan aparat penegak hukum dan tanpa adanya teladan. Malah beberapa kasus upaya menolak keberadaan lokasi pelacuran, tidak direspon sebagaimana mestinya. Ketika masyarakat menolak, dan dilakukan razia oleh aparat, para pelaku berhasil dibebaskan hanya dengan tebusan beberapa ratus ribu rupiah saja. Hal ini terungkap dalam sesi tanya jawab pada “Forum Advokasi dan Edukasi tentang Implementasi UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi” di Hotel Lembah Sarimas Ciater Subang (7/5) dengan nara sumber Marisa Puspita Sary, M.Si., dan Yayu Sriwartini, M.Si., keduanya pengurus Masyarakat Tolak Pornografi (MTP) dengan moderator Kabag Humas & Protokol Asep Setia Permana, M.Si. Hal lainnya ialah masih bertebarannya siaran-siaran yang bermuatan pornografi di layar-layar TV. Menurut Yayu, hal tersebut harus direspon secara sinergis oleh lapisan masyarakat. “Perlu adanya sikap tegas dari mayarakat secara proaktif dalam menyikap hal tersebut yaitu dengan memberikan tekanan penolakan. Sikap proaktif masyarakat masih cukup efektif dalam upaya menentang keberadaan pornografi. Di Amerika, sikap proaktif masyarakat sangat ditakuti oleh industri, termasuk industri penyiaran,” jelas Yayu. Hal sama juga terjadi di Indonesia. Beberapa acara siaran atau penerbitan pornografi berhasil dihentikan atas desakan dan tekanan kuat dari masyarakat yang menolaknya. Disamping itu pemberlakuan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, hal-hal yang menyangkut tentang pornografi menjadi masalah kejahatan bukan lagi hal-hal yang “tabu” atau “pamali”. Karena telah memiliki landasan hukum dengan sanksi yang jelas. Hal tersebut diutarakan oleh yang menyampaikan makalah dengan tema “Kupas Tuntas Pornografi” pada Forum Advokasi dan Edukasi Implentasi UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi di lembah Sarimas (7/5). Marisa kemudian menjelaskan tentang Perbedaan antara Pornografi dengan Pendidikan Seks. “Pornografi menampilkan materi untuk membangkitkan hasrat seksual khalayak sedangkan Pendidikan seks mempelajari organ reproduksi dan fungsinya untuk dikenal lebih dalam serta dipersiapkan untuk menghadapi dan menjaganya,” jelas Marisa. Kemudian Marisa menambahkan bahwa pornografi tidak memiliki nilai moral dan tanggung jawab baik dari sisi etika maupun agama. Sedangkan pendidikan seks memiliki nilai moral dan tanggung jawab yang jelas. Tingkat bahaya pornografi nyaris sama dengan bahaya narkoba. Karena telah banyak ditemukan kasus ketergantungan pada pornografi. Menurut penelitian, secara fisik akibat pornografi baru dirasakan 13 tahun kemudian. Diantaranya sulit mendapatkan keturunan dan secara psikologis menimbulkan akibat gangguan jiwa bahkan gangguan sosial karena akibat dorongan pelampiasan yang sudah tidak lagi melihat situasi, kondisi dan status target pelampisan. “Maka dari itu pelaku tidak melihat lagi siapa yang dijadikan target pelampiasan. Bahkan tidak jarang terjadi penyimpangan, dimana dilakukan pada sesama jenis ataupun pada hewan,” ujarnya menambahkan. Efek-efek pornografi yang ditimbulkan, diantaranya ialah efek eskalasi (kecenderungan menambah porsi maupun cara pelampiasan) hal ini sama dengan kecanduan narkotika. Dampak psikologisnya akan mengurangi kepekaan terhadap kejahatan seksual. Azimah Soebagyo, S.Sos., Ketua MTP menjelaskan tentang kategori pornografi yang terkandung dalam UU No. 44 tahun 2008. Pada kesempatan itu Azimah menjelaskan tentang belum diaturnya pemakai baju-baju seksi di muka umum. Seperti mengenakan rok mini dan celana yang memperlihatkan bagian auratnya. Hal ini menurut Azimah bisa disiasati oleh kehendak masyarakat dalam bentuk adat atau melalui KUHP pasal 282 tentang kesusilaan. Oleh karena itu dirinya sependapat ini perlu mendapat perhatian serius dari semua masyarakat.